MESKI sudah diperkenalkan sejak awal abad 20, cakupan imunisasi di berbagai tempat hingga saat ini belum mencapai 100 persen. Malah, jumlah anak yang mendapat vaksin menurun.
Di Indonesia sendiri cakupan imunisasi baru berkisar 60 persen. Padahal, vaksinasi sudah terbukti menjadi cara yang murah dan efektif untuk mencegah angka kesakitan dan kematian pada anak-anak akibat penyakit infeksi. Tapi, tak jarang, banyak orangtua yang meragukan imunisasi karena banyaknya mitos yang beredar.
Menurut dr. Desy Dewi Saraswati, SpA dari RSIA Evasari, imunisasi secara umum bermanfaat untuk membentuk kekebalan tubuh anak terhadap penyakit. Orangtua sebaiknya jangan mereme hkan imunisasi karena imunisasi dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi dan anak sehingga mampu melawan penyakit.
Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindung dari penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik, kakak dan teman-temannya. Jadi, imunisasi selain bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk mencegah penyebaran ke orang lain.
Berdasarkan catatan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), imunisasi yang sudah disediakan pemerintah meliputi imunisasi rutin seperti Hepatitis B, polio, BCG, DPT, dan campak. Sementara imunisasi yang belum disediakan pemerintah adalah Hib, pneumokokus, influenza, tifoid, MMR, cacar air, hepatitis A dan Kanker Leher Rahim (HPV).
Namun, patut disayangkan, ada beberapa orangtua yang salah mendapatkan informasi mengenai imunisasi dan memutuskan bahwa anaknya tidak diimunisasi hingga menyakibatkan si anak jatuh sakit. Apa saja sih mitos yang berkembang di masyarakat?
Imunisasi seb agai Pemicu Autisme
Hubungan pemberian vaksin MMR (measles, mumps, rubella) dan autisme masih menuai banyak pro dan kontra. Hal ini mulai menjadi pembicaraan sejak Dr Andrew Wakefield dari London mengumumkan hasil penelitiannya tentang vaksin MMR memicu autisme pada tahun 1998.
Faktanya: Tidak benar! Beberapa ahli kembali melakukan penelitian baik berupa laporan kasus, kasus serial dan penelitian epidemiologis terkait hasil penelitian Dr Andrew tersebut. Ternyata, sebagian besar menunjukkan bahwa tidak ada hubungan kausal antara kejadian autisme dengan pemberian vaksin MMR.
Bahkan, para ahli di WHO menyimpulkan bahwa penelitian Dr Andrew telah gagal dalam membuktikan hubungan kausal antara vaksin MMR dengan autisme. Imunisasi bukan satu-satunya hal yang dapat memicu timbulnya autisme karena pada dasarnya penderita autisme telah memiliki kelainan genetik bawaan dan biologis sejak awal.
Pada Agustus 2000 lalu, The All Party Parliamentary Group on Pr imary Care and Public Health menyatakan bahwa MMR aman digunakan karena tidak terbukti hubungan antara kondisi seperti inflammatory bowel disease (gangguan pencernaan) dengan autisme. Begitu juga dengan WHO yang pada januari 2001 lalu menyatakan dukungan sepenuhnya pada penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan efektivitasnya.
Vaksin Tidak Efektif Mencegah Infeksi Penyakit
Ada beberapa orangtua yang memiliki kekhawatiran besar terhadap vaksin. Bahkan banyak di antara mereka yang meragukan keefektifan imunisasi dalam mencegah penyakit karena mereka menganggap dengan diimunisasi bisa saja bayi mereka justru terkena penyakit lain.
Faktanya: Pakar kesehatan mengatakan bahwa vaksin sebagai sumbangan terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia. Pernyataan itu memang benar, bukan sebuah sebutan yang dilebih-lebihkan.
Sejak teknik vaksinasi sederhana untuk penyakit cacar (smallpox) diperkenalkan oleh Edward Jenner pad a 1796, status kesehatan di seluruh dunia semakin membaik. Jenner adalah orang pertama yang memerkenalkan prosedur vaksinasi secara ilmiah dan mendorong para ilmuwan melakukan penelitian lebih lanjut terhadap vaksin cacar. Hingga pada 8 Mei 1980, World Health Assembly mengumumkan bahwa dunia sudah bebas dari cacar dan menyarankan penduduk di seluruh dunia untuk menghentikan imunisasi cacar.
Penyakit cacar hanyalah sebagian cerita sukses imunisasi. Menurut WHO, UNICEF, dan Bank Dunia, berkisar tiga juta nyawa terselamatkan setiap tahun berkat imunisasi yang dilakukan terhadap anak-anak. Angka penderita polio turun drastis dari 300.000 kasus per tahun pada 1980-an menjadi tinggal 2.000 kasus pada 2002.
Angka kematian akibat penyakit campak di seluruh dunia juga turun dari berkisar 873.000 kematian pada 1999 menjadi 345.000 pada 2005. Pada 2007-2008 diadakan ?Measles Campaign? untuk memerangi penyakit campak. Kejadian batuk rejan (pertusis) dan difteri juga turun drastis berkat imunisasi.
Vaksin Mengandung Zat Pengawet Berbahaya
Isu tentang bahaya vaksin ini merebak beberapa tahun lalu ketika dalam tubuh sekelompok anak autisme di Amerika Serikat ditemui kandungan merkuri di atas kadar normal. Dari mana merkuri ini berasal? Vaksin menjadi tersangka karena beberapa vaksin mengandung bahan pengawet thimerosal. Hampir separuh kandungan senyawa ini terdiri dari etilmerkuri.
Faktanya: Pendapat tentang thimerosal dan MMR ini tidak sepenuhnya diterima pakar kesehatan anak. Tidak semua anak yang mendapatkan vaksin, baik MMR maupun vaksin yang mengandung thimerosal, mengalami autis. Pihak-pihak yang tidak menerima pendapat ini tetap memercayai dan menjadikan vaksin sebagai solusi kesehatan global. Sebab hanya dengan memberikan vaksinasi, penyebaran penyakit menular yang mengancam kesehatan umat manusia bisa dituntaskan.
Dalam hal ini, vaksin tetap harus diberikan pada semua anak dengan dasar manfaat yang diberikan nya lebih banyak ketimbang kerugian yang masih bersifat rumor. Kontroversi seputar penggunaan thimerosal dan pemberian vaksin MMR mendorong para ahli melakukan penelitian lebih dalam agar didapatkan informasi yang benar tentang masalah ini. (bersambung) (ftr)
»
0 comments:
Post a Comment