TAK pernah disangka bahwa sariawan kecil seperti amandel itu ternyata kanker getah bening. Dunia pun seakan berakhir saat mendengar vonis itu dari dokter.
Semuanya bermula ketika karier gemilang sedang di tangan dan kehidupan bahagia di keluarga dengan anak-anak serta suami. Rasanya sempurna sudah hidup di usia 30 tahun. Sebuah pencapaian yang mungkin tak banyak dirasakan orang. Tapi Yana Sari Putri Sihombing merasakannya di usia puncak bagi perempuan secara utuh.
Bahagia sempurna rasanya. Namun kebahagiaan itu sempat berganti dengan kemuraman saat vonis kanker dihadapkan padanya.
Kisah diawali ketika Yana merasakan ada sariawan yang dianggapnya sebagai sariawan biasa. Ia pun tak melakukan pengobatan khusus, karena sariawan merupakan gangguan biasa yang nantinya hilang sendiri.
?Ah, nanti kalau makan sambal juga sembuh,?ujar Yana saat berbagi cerita di peluncuran buku Kami Berani Melawan Kanker yang dipersembahkan Fuda Cancer Hospital Jinan University School of Medicine dan ditulis oleh Pirska Siagian, di Jakarta, belum lama ini.
Sayangnya, sariawan kali ini berbeda dengan biasanya. Makin hari bukannya makin menunjukkan kesembuhan tapi justru makin mengganggu.
?Saya sempat datangi dokter THT, dan seperti biasa diberi obat kumur dan penghilang sakit. Tapi sepekan kemudian belum hilang. Saya pun berobat ke professor THT lain dan beliau meminta untuk dilakukan biopsi,?kenangnya.
Pernyataan dokter itu sempat membuatnya terkejut. Kenapa harus biopsi kalau hanya sariawan. Toh nantinya akan hilang dengan sendirinya seperti biasanya. Namun dokter menjelaskan kekhawatirannya bahwa sariawan itu diduga tumor atau TBC.
?Setelah dibiopsi saya diberi obat penghilang rasa sakit tapi justru tambah sakit dan malah membuatku tak nyaman makan dan minum,?tambahnya.
Tiga hari berikutnya hasil diagnosa keluar. Dengan rasa penasaran, dibukalah hasil laboratorium itu dan tertuliskan diagnosa karsinoma. Ibu dua anak ini pun sempat bingung dengan jenis penyakit apa itu sesungguhnya.
Ia kemudian menghampiri kepala cabang di tempatnya bekerja dan menanyakan apa itu karsinoma. Betapa kagetnya ketika dijelaskan bahwa karsinoma itu kanker. Tangis pun meledak, tapi di hati masih belum meyakini diagnosa tersebut. Yana pun menelpon kakak iparnya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter dan menanyakan apa itu karsinoma.
Kakak ipar pun menjelaskan bahwa karsinoma itu sebenarnya kanker ganas. Mendengar itu, dunia pun seakan runtuh. Hidup seperti bakal berakhir. Ia berpikir bahwa menderita kanker sama saja dengan kehidupan yang tamat. Tak bisa beraktivitas, berbaring di tempat tidur, dan kemoterapi akan membuat badannya gosong dan kepala botak karena efek penyinarannya.
?Untuk meyakinkan lagi diagnosa sesungguhnya, saya pergi ke dokter lain. Sampai ada yang bilang, kalau kayak gini sudah stadium akhir, paling lima tahun lagi,?kata dokter itu.
Wanita berkulit putih ini pun drop mendengar vonis menyeramkan tersebut. Beruntung, ada rekomendasi dari teman ayahnya yang memintanya untuk ke Fuda Cancer Hospital di Jakarta yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Gading Pluit. Konsultasi pun dilakukan dan dokter mengatakan bahwa tindakan tersebut tak bisa dilakukan di Indonesia melainkan ke Guangzhou.
?Saya pun terbang ke Guangzhou. Dan yang paling membuat saya semangat ialah ucapan anak saya ?Mama tak boleh meninggal. Mama harus sembuh,?tutur Yana menirukan ucapan anak-anaknya kala itu.
Sesampainya di sana, dokter di FUDa melakukan serangkaian pengobatan yakni pemeriksaan darah dan PET scan. Seminggu pertama di Guangzhou, Yana mengaku bisa shopping. Jadi dokter memberikan koyo dan obat kumur yang sekejab menghapus rasa sakit di tenggorokan kepala dan tubuh.
Seminggu di Fuda, dokter memberitahu bahwa kanker yang diidap ialah kanker limfoma stadium 3B. Saran untuk melakukan PDT pertama pun diberkan. Obat dimasukkan melalui rahang mulut dengan teknologi fotokimia dan selama dua minggu tak boleh terpapar matahari dan memakai kacamata hitam serta seluruh lampu kamar dimatikan.
?Saya menjalani dua kali PDT dan enam kali kemoterapi. Bolak balik Jakarta Guangzhou berkali kali demi menjalani paket kemoterapi. Mual rasanya saat kemoterapi pertama bahkan sempat syok karena sekepal rambut yang terikat tiba-tiba copot dari kepala. . Alhamdulillah, Februari 2010 saya kembali jalani PET san dan pemeriksaan sumsum tulang belakang. Tujuannya untuk melihat seberapa efektif perjuangan mematikan sel kanker limfoma. Rasa sakit dan takut jarum suntik berganti dengan semangat untuk mengembalikan kebahagiaan keluarga. Kepasrahan pada Allah pun satu-satunya yang saya lakukan,"katanya.
Dalam titik nadir itu, pernyataan dokter kemudian terkait hasil pemeriksaan akhir seperti mukjizat dari Tuhan untuknya. Dokter mengatakan bahwa semua sel kanker limfoma sudah mati.
?Yang membuat saya bahagia saat pemeriksaan sumsum tulang belakang yang menunjukkan sistem limfatik yang membentuk imunitas tubuh ternyata bersih dari sel kanker. Lega mendengarnya dan bersyukur luar biasa,?tutupnya. (ind)
»
Semuanya bermula ketika karier gemilang sedang di tangan dan kehidupan bahagia di keluarga dengan anak-anak serta suami. Rasanya sempurna sudah hidup di usia 30 tahun. Sebuah pencapaian yang mungkin tak banyak dirasakan orang. Tapi Yana Sari Putri Sihombing merasakannya di usia puncak bagi perempuan secara utuh.
Bahagia sempurna rasanya. Namun kebahagiaan itu sempat berganti dengan kemuraman saat vonis kanker dihadapkan padanya.
Kisah diawali ketika Yana merasakan ada sariawan yang dianggapnya sebagai sariawan biasa. Ia pun tak melakukan pengobatan khusus, karena sariawan merupakan gangguan biasa yang nantinya hilang sendiri.
?Ah, nanti kalau makan sambal juga sembuh,?ujar Yana saat berbagi cerita di peluncuran buku Kami Berani Melawan Kanker yang dipersembahkan Fuda Cancer Hospital Jinan University School of Medicine dan ditulis oleh Pirska Siagian, di Jakarta, belum lama ini.
Sayangnya, sariawan kali ini berbeda dengan biasanya. Makin hari bukannya makin menunjukkan kesembuhan tapi justru makin mengganggu.
?Saya sempat datangi dokter THT, dan seperti biasa diberi obat kumur dan penghilang sakit. Tapi sepekan kemudian belum hilang. Saya pun berobat ke professor THT lain dan beliau meminta untuk dilakukan biopsi,?kenangnya.
Pernyataan dokter itu sempat membuatnya terkejut. Kenapa harus biopsi kalau hanya sariawan. Toh nantinya akan hilang dengan sendirinya seperti biasanya. Namun dokter menjelaskan kekhawatirannya bahwa sariawan itu diduga tumor atau TBC.
?Setelah dibiopsi saya diberi obat penghilang rasa sakit tapi justru tambah sakit dan malah membuatku tak nyaman makan dan minum,?tambahnya.
Tiga hari berikutnya hasil diagnosa keluar. Dengan rasa penasaran, dibukalah hasil laboratorium itu dan tertuliskan diagnosa karsinoma. Ibu dua anak ini pun sempat bingung dengan jenis penyakit apa itu sesungguhnya.
Ia kemudian menghampiri kepala cabang di tempatnya bekerja dan menanyakan apa itu karsinoma. Betapa kagetnya ketika dijelaskan bahwa karsinoma itu kanker. Tangis pun meledak, tapi di hati masih belum meyakini diagnosa tersebut. Yana pun menelpon kakak iparnya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter dan menanyakan apa itu karsinoma.
Kakak ipar pun menjelaskan bahwa karsinoma itu sebenarnya kanker ganas. Mendengar itu, dunia pun seakan runtuh. Hidup seperti bakal berakhir. Ia berpikir bahwa menderita kanker sama saja dengan kehidupan yang tamat. Tak bisa beraktivitas, berbaring di tempat tidur, dan kemoterapi akan membuat badannya gosong dan kepala botak karena efek penyinarannya.
?Untuk meyakinkan lagi diagnosa sesungguhnya, saya pergi ke dokter lain. Sampai ada yang bilang, kalau kayak gini sudah stadium akhir, paling lima tahun lagi,?kata dokter itu.
Wanita berkulit putih ini pun drop mendengar vonis menyeramkan tersebut. Beruntung, ada rekomendasi dari teman ayahnya yang memintanya untuk ke Fuda Cancer Hospital di Jakarta yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Gading Pluit. Konsultasi pun dilakukan dan dokter mengatakan bahwa tindakan tersebut tak bisa dilakukan di Indonesia melainkan ke Guangzhou.
?Saya pun terbang ke Guangzhou. Dan yang paling membuat saya semangat ialah ucapan anak saya ?Mama tak boleh meninggal. Mama harus sembuh,?tutur Yana menirukan ucapan anak-anaknya kala itu.
Sesampainya di sana, dokter di FUDa melakukan serangkaian pengobatan yakni pemeriksaan darah dan PET scan. Seminggu pertama di Guangzhou, Yana mengaku bisa shopping. Jadi dokter memberikan koyo dan obat kumur yang sekejab menghapus rasa sakit di tenggorokan kepala dan tubuh.
Seminggu di Fuda, dokter memberitahu bahwa kanker yang diidap ialah kanker limfoma stadium 3B. Saran untuk melakukan PDT pertama pun diberkan. Obat dimasukkan melalui rahang mulut dengan teknologi fotokimia dan selama dua minggu tak boleh terpapar matahari dan memakai kacamata hitam serta seluruh lampu kamar dimatikan.
?Saya menjalani dua kali PDT dan enam kali kemoterapi. Bolak balik Jakarta Guangzhou berkali kali demi menjalani paket kemoterapi. Mual rasanya saat kemoterapi pertama bahkan sempat syok karena sekepal rambut yang terikat tiba-tiba copot dari kepala. . Alhamdulillah, Februari 2010 saya kembali jalani PET san dan pemeriksaan sumsum tulang belakang. Tujuannya untuk melihat seberapa efektif perjuangan mematikan sel kanker limfoma. Rasa sakit dan takut jarum suntik berganti dengan semangat untuk mengembalikan kebahagiaan keluarga. Kepasrahan pada Allah pun satu-satunya yang saya lakukan,"katanya.
Dalam titik nadir itu, pernyataan dokter kemudian terkait hasil pemeriksaan akhir seperti mukjizat dari Tuhan untuknya. Dokter mengatakan bahwa semua sel kanker limfoma sudah mati.
?Yang membuat saya bahagia saat pemeriksaan sumsum tulang belakang yang menunjukkan sistem limfatik yang membentuk imunitas tubuh ternyata bersih dari sel kanker. Lega mendengarnya dan bersyukur luar biasa,?tutupnya. (ind)
»