WABAH demam berdarah dengue (DBD) terus menghantui masyarakat Indonesia. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit ini bisa berakibat fatal hingga kematian.
Musim pancaroba, perubahan dari musim hujan menuju kemarau yang sedang berlangsung saat ini, berdampak terhadap tingkat kesehatan masyarakat.
Salah satunya, akibat cepatnya proses perkembangbiakan nyamuk, risiko masyarakat menderita DBD menjadi meningkat. Meski berulang kali didengungkan, banyak masyarakat yang belum teredukasi mengenai pentingnya soal ini.
Hal inilah, menurut ahli kesehatan lingkungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Dr Budi Haryanto SKM MSPH MSc, yang membuat seringnya terjadi kasus keterlambatan dalam penanganan pasien DBD. Salah satu gejala umum dari DBD, yaitu demam, masih dianggap keluhan ringan dan kebanyakan hanya didiamkan, tidak dilakukan penanganan apa pun. Setelah berlangsung selama dua sampai tiga hari, biasanya penderita baru dibawa ke rumah sakit. Padahal, jika sewaktu-waktu mengalami shock akan berakibat fatal.
?Saat dibawa ke rumah sakit ternyata trombosit pasien sudah turun dan akan semakin sulit untuk ditangani. Ini tentu bahaya dan memperbesar risiko kematian. Makanya, jika ada anggota keluarga yang demam, harus cepat-cepat ditangani dokter,? ujarnya dalam acara Forum Diskusi Kesehatan Memperingati ASEAN Dengue Day 2013 persembahan SC Johnson Indonesia di Ritz Carlton Hotel, Jakarta, belum lama ini.
Budi mengemukakan, tanda-tanda seseorang terkena DBD, di antaranya panas tinggi atau demam mendadak, terjadi pendarahan dengan bintik-bintik merah pada kulit dan bila direnggangkan bintik merah tersebut akan hilang dengan sendirinya, hidung mimisan, muntah, serta buang air besar bercampur darah. Banyak yang tidak menyadari terkena DBD karena meskipun sudah parah, penderita tidak tampak gelisah serta ujung tangan dan kaki tidak terasa dingin.
?Ada juga pasien yang tidak muncul bintik merah, setelah beberapa hari menderita demam. Hal itu juga yang membuat orang terlambat menyadari bahwa dia terkena DBD. Akibatnya, penanganan terhadap penderita pun terlambat,? tuturnya.
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini juga diakui oleh Husein Habsyi SKM MHComm, Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Satu penelitian yang dilakukan IAKMI di Jakarta pada Mei 2013 yang melibatkan 509 keluarga, mengindikasikan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang belum mengerti penyakit yang bersumber dari nyamuk, seperti DBD, dapat menular.
Hanya 33% dari masyarakat yang disurvei mengerti bagaimana nyamuk Aedes aegypti berkembang biak, bagaimana nyamuk tersebut menggigit mangsanya (40%), dan bagaimana nyamuk tersebut merupakan faktor utama yang menyebabkan DBD (51%).
?Ini amat mengkhawatirkan dan menyentak nurani. Karena itulah, fungsi IAKMI adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia mengenai DBD dengan segera,? ucap Husein.
DBD disebabkan oleh virus denguedan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Virus ini terdiri atas empat serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Diketahui, serotipe DEN-3 merupakan tipe yang paling ganas menyerang manusia. Meski ganas, virus ini tidak bakal menyebabkan kematian.
Pasien DBD dapat meninggal karena komplikasi, seperti kejadian shock dan perdarahan menyeluruh yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh dan akhirnya penderita tak tertolong lagi. Kasus DBD dalam kurun waktu lima tahun diketahui terus melesat. Pada 2008, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat terdapat 117.830 kasus dengan 953 kematian (case fatality rate/CFR 0,81).
Pada 2010 sudah ada 156.086 kasus dengan 1.358 kematian (CFR 0,87). Indonesia berada di posisi kedua di dunia dan pertama negara ASEAN dengan angka insiden demam berdarah tertinggi. Di dunia, DBD juga menjadi masalah global pada dekade terakhir.
(tty)
»
0 comments:
Post a Comment